Sebut sajalah ada tiga orang sahabat yang tinggal di sebuah desa. Desa yang cukup terpencil dari peradaban, dimana sungai masih jernih, hutan masih rimbun, dan tentu saja udara masih segar jauh dari polusi kendaraan bermotor.
Anggap saja nama dari tiga orang sahabat itu adalah (nama standar orang Indonesia di pelajaran SD
) Budi, Tono, dan Andi. Masa kecil mereka banyak dihabiskan dengan bermain-main di sungai yang mengalir di pinggir desa. Mereka berenang, bermain air, atau sekedar berjemur menikmati mentari sore. Kaki-kaki kecil mereka terus menapaki desa yang indah itu seakan tiada beban hidup di dunia hingga mereka beranjak dewasa.
Saat mereka beranjak dewasa, Budi memutuskan untuk meninggalkan desa itu untuk merantau ke kota. Merantau ke kota untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Dua sahabat lainnya tetap tinggal di desa itu, namun persahabatan mereka masih tetap kokoh walau dipisah jarak dan waktu.
Suatu saat Budi kembali lagi ke desa mereka. Tono dan Adi pun segera merayakan kepulangan Budi dengan mengajaknya untuk ke sungai sambil mengenang masa lalu mereka. Di sungai itu mereka berperahu ke tengah sungai sambil memancing ikan dan bertukar cerita tentang pengalaman mereka yang telah berpisah hampir 10 tahun.
Suatu ketika, Andi merasa lapar dan ingin mengambil bekal mereka yang sengaja ditaruh di pinggir sungai. Budi pun berkata kepada ke kedua sahabatnya bahwa dia akan mendayung perahu ke tepi untuk mengambil makanan. Sebelum Budi mendayung, Andi pun melarang, sambil berkata, “Biar aku saja yang ambil, kau tetap di perahu”.
Andi pun melompat dari perahu, namun secara ajaib dia bisa berjalan di atas air dan datang mengambil makanan tanpa basah sedikitpun. Budi pun tercengang kaget, sementara itu Tono hanya tersenyum penuh arti.
Kemudian suatu ketika Tono merasa haus dan ingin mengambil minuman mereka di pinggir sungai. Sebelum Budi hendak mendayung perahu kembali ke tepi, Tono pun melarang sambil berkata, “Biar aku saja yang ambil, tak perlu kita dayung perahu ini ke pinggir”.
Tono pun segara meloncat dan seketika dia dapat berjalan di atas sungai. Sekali lagi Budi tercengang, sementara itu Andi tersenyum penuh arti. Budi pun berpikir bahwa sungai di desa mereka merupakan sungai ajaib yang dapat membuat orang berjalan di atas air
Beberapa saat kemudian, Budi merasa agak kedinginan dan ingin mengambil jaket yang ada di pinggir sungai. Kedua sahabatnya pun langsung berkata, “Mari kita dayung perahu ini ke pinggir”.
Budi melarang mereka, setelah dia melihat kedua sahabatnya dapat berjalan di atas sungai dia pun ingin mencoba. Budi segera melompat dan… byur… dia pun langsung tenggelam. Kedua sahabatnya segera menolong Budi dan membawa perahu mereka kembali ke pinggir.
Budi yang masih kaget karena tercebur, bertanya kepada kedua sahabatnya mengapa mereka bisa berjalan di atas air. Sambil tersenyum akhirnya Tono menjelaskan.
“Selama 10 tahun ini ketika kau merantau ke kota, kami membuat semacam batu pijakan di sungai tersebut yang tidak terlihat hanya kami sajalah yang tahu dengan pasti tempat ada batu tersebut. Sehingga jika ada orang yang melihat, seolah-olah kami dapat berjalan di atas air”
Pesan moral dari kisah tersebut :
Ketika kita melihat orang sukses, kita hanya melihat kehidupan dia yang sudah mapan dan enak bagai orang yang dapat berjalan di atas air. Tapi kadang kita tidak tahu, seberapa besar pengorbanan yang dia lakukan agar dapat membuat batu-batu yang dapat menjadi pijakan dia berjalan di atas air tersebut